DILEMATIKA SEORANG GURU SEBAGAI PENDIDIK DAN KEPALA
KELUARGA
Pendidikan
merupakan investment yang paling utama bagi setiap bangsa, terutama sekali bagi
bangsa yang sedang berkembang dan sedang giat-giatnya membangun negaranya.
Pembangunan ini hanya dapat dilakukan oleh manusia yang dipersiapkan untuk itu
melalui pendidikan (S. Nasution : S : 198). Betapa tidak, tidak akan suatu
bentuk pembangunan akan terlaksanakan tanpa adanya sebentuk prepare yang
memadai dan tepat sesuai dengan apa yang direncanakan itu sendiri. David MC.
Cleland dengan konsep “Need for Achievment”nya merekomendasikan bahwasanya
suatu konsep ataupun perencanaan yang sematang apapun telah dirancang
sedemikian rupa untuk melakukan sebentuk pembangunan atau mobilisasi massa
untuk melaksanakan pembangunan, entah itu pembangunan ideologi maupun
pembangunan fisik, akan menuai tabir buntu tanpa adanya keinginan untuk maju
dari individu atau pelaksana pembangunan itu sendiri.
Melirik potensi yang ada di Negara kita ini, khususnya potensi sumber daya
manusia yang didukung dengan ketersediaan sumber daya alam yang bisa dikatakan
lebih dari memadai, bukan tidak mungkin untuk kita akan lebih maju dari
negara-negara besar lainnya. Namun demikian, bangsa kita belum mampu sepenuhnya
mensistensa segala bentuk pengalaman yang pernah dialami dan pembelajaran dari
negara-negara besar yang telah menelurkan keberhasilan dalam segala aspek
kehidupan. Padahal kalau kita lihat dari sekian dekade dan rentan waktu
kemerdekaan yang dilalui oleh bangsa Indonesia, banyak generasi dan pioner yang
telah dicetak, dan kualitasnya pun tidak kalah saing serta mampu berkompetensi
di level regional hingga level internasional. Namun disayangkan, kita belum
mampu memposisikan diri sesuai dengan kualifikasi dan kapasitas yang kita
miliki, atau bisa dibilang kalau konsep profesionalisme belum mampu
terejawantahkan sepenuhnya.
Sihotang, dalam bukunya “Manajemen Sumber Daya Manusia”, merekomendasikan bahwa
penempatan pekerja dan lowongan pekerjaan harus selalu berpedoman pada prinsif
manajemen yang berbunyi “The Right Man On The Right Place and Right Job”.
Menempatkan orang yang tepat keahliannya pada bidang yang tepat pula, demi
tercapainya produktifitas yang lebih tinggi. Akan tetapi agaknya, pemikiran ini
belum begitu berkembang luas dalam dimensi kehidupan yang nyata, meskipun ada
segelintir badan usaha atau lembaga yang menerapkannya, karena biasanya
birokrasi yang ada dinegara kita ini masih dibayang-bayangi dengan nuansa
kehidupan feodalisme yang bermuara pada nepotisme. Hal senada juga dikatakan
oleh Edwin Flippo dalam bukunya “Principle of Personal Management”, bahwa
spesifikasi jabatan adalah minimal yang harus dimiliki seorang untuk
melaksanakan pekerjaan dengan baik.
Demi menjawab segala permasalahan di atas, agaknya pemerintah harus lebih
serius dan membuka mata lebar-lebar dalam mengapresiasi pendidikan, karena
sampai saat ini kita masih sangat terpuruk dalam dunia pendidikan, bukan hanya
sekedar kualitas pelaksana pendidikan atau objek dan subjek pendidikan, akan
tetapi infrastruktur dan struktur yang ada perlu dibenahi.
Kualitas dan mutu pendidikan muai dibenahi mulai dari perombakan kurikulum yang
berasaskan otonomi standarisasi nasional yang setiap tahun ditingkatkan, hingga
peningkatan kualitas tenaga pengajar melalui program sertifikasi guru. Sehingga
yang menjadi actor utama yang paling memiliki peranan urgen pada kondisi ini
adalah guru, yang mana guru merupakan fasilitator sekaligus motor penggerak
sejak zaman Soerates dahulu dengan gaya tutorialnya hingga kini dan sampai
kapanpun guru akan tetap berperan sebagai pelaksana utama dalam pendidikan,
untuk itu titik tolak dan indicator keberhasilan output dari pendidikan itu
adalah bagaimana guru memainkan peran maksimal dalam proses pendidikan itu
sendiri. Oleh karena itu tidak heran kalau yang menajdi sorotan utama ketika
terjadi sebentuk penyimpangan dari program pendidikan yang telah direncanakan
ataupun berhasil dan tidaknya output pendidikan yang menjadi bidikan utama
adalah guru. Tidak jarang kita dengar hujatan-hujatan dari orang tua siswa atau
masyarakat umum yang cukup pahit dan seolah-olah menampar muka seorang guru
karena ulah perilaku siswa yang dianggap menyimpang oleh masyarakat. Padahal
sepenuhnya kita tidak bisa menyalahkan seorang guru yang tridak berhasil dalam
melaksanakan dan menyelenggarakan pendidikan untuk mendidik siswa-siswanya.
Bayangkan saja, waktu yang dimiliki guru untuk metranspormasi segala jurus
pendidikannya untuk mendidik peserta didiknya hanyalah seperempat hari, dan
anak atau siswa lebih banyak akan mengahabiskan waktunya dilingkungan keluarga
dan masyarakatnya sendiri. Kartini Kartono dalam bukunya “Patologi Sosial 3”,
menegaskan bahwa faktor social paling utama memberikan pengaruh predisposional
psikotis pada anak dan orang muda (remaja) adalah keluarga, dan bentuk keluarga
yang dimaksud adalah
1. Ayah ibu yang tidak mampu berfungsi sebagai pendidik.
2. Tidak berfungsinya keluarga sebagai lembaga psiko social, karena tidak mampu
mengintegrasikan anak-anaknya dalam keutuhan keluarga.
Dari kedua statement yang diutarakan di atas kita dapat menarik sebentuk
generalisasi bahwa tanggung jawab pembentukan kepribadian seorang anak tidak
seharusnya hanya dilimpahkan pada guru atau pun sekolah, meskipun orang tua
pada dasarnya menyerahkan pendidikan anak (dilimpahkan) kepada sekolah. Yang
perlu diingat, guru juga disamping berperan sebagai seorang professional, yang
di lain sisi dia adalah seorang yang memiliki tanggung jawab terhadap
keluarganya.
Terkadang tidak jarang juga guru terkena imbas sebagai kambing hitam atau dalam
bahasa elitnya disebut sebagai korban konpirasi dari kebijakan pemerintah yang
terkadang tidak sesuai antara apa yang direncanakan dengan apa yang terjadi di
lapangan, harusnya program-program pendidikan yang operasionalnya berpusat di
sekolah.
Di sekolah, guru dihadapkan dengan berbagai macam tuntutan yang wajib untuk
dipenuhi dengan mendayagunakan segala potensi dan kapabilitas yang disandang,
dan mengutamakan profesionalisme serta melepeskan atribut yang disandang di
luar konteks pendidikan. Edy Mulyasa dalam bukunya “Menjadi Guru Profesional”
menyebutkan, sekian banyak peran yang harus dilakoni oleh seorang guru ketika
ia berada di sekolah, terlebih di dalam kelas, yakni sebagai pendidik tentunya,
sebagai pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, pembaharu (inovator), sebagai
model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreatifitas, pembangkit
pandangan, pekerja rutin, pembawa cerita, pengawet, evaluator, dan lain
sebagainya. Melihat seabrek peranan yang harus dimainkan tersebut, tentunya
guru akan menuai jalan buntu jika tidak betul-betul seriu dalam memposisikan
dirinya sebagai seorang guru yang professional dan amanah. Untuk itu, dalam
menangani masalah pendidikan, layaknya bidang profesi yang lainnya yang umumnya
membutuhkan spesifikasi terhadap bidang keilmuan untuk betul-betul didalami dan
atau paling tidak difokuskan serta kompetitif dibidangnya. Kompetitif yang
dimaksud di sini adalah profesionalisme dan akuntabilitas serta kredibilitas
yang betul-betul memadai sebagai mana yang diutarakan oleh Hamzah B. Uno, dalam
bukunya “Profesi Kependidikan”, yakni kompetensi adalah kecakapan atau
kemampuan yang dimiliki guru, yang diindikasikan dalam tiga kompetensi, yaitu
kompetensi yang berhubungan dengan tugas profesionalnya sebagai seorang guru
(professional), kompetensi yang berhubungan dengan keadaan pribadinya
(personal) dan kompetensi yang berhubungan dengan keadaan masyarakat atau
lingkungannya (social). Jadi tidak heran beberapa tahun belakangan ini, telah
didengungkan dan ditetapkan undang-undang guru yang mengatur masalah kompetensi
guru dengan program sertifikasi guru yang mungkin di satu sisi berdampak
positif bagi peningkatan kualitas pendidikan, namun di sisi lain akan menjadi
musibah bagi perjalanan karir seorang guru.
Di lain dimensi, jika dilihat dari sisi lain kehidupan seorang guru, kita akan
banyak menemukan sisi keunikan dibalik keperihatinan yang terkadang menjadi
suatu dilematika yang mau tidak mau pasti dihadapi oleh seorang guru. Terkadang
profesi guru mereka anggap sebagai sampingan atau sebagai pokok dari pekerjaan
sampingan yang lain karena dalih masalah kesejahteraan yang tidak begitu
mendapatkan sorotan dan perhatian optimal dari pemerintah. Tidak jarang ada
yang kita temukan guru mencari sampingan atau sebagai tambahan pendapatan
seorang guru yang dirasakan tidak begitu mencukupi dan layak. Mulai dari
bertani, pedagang, hingga terpaksa harus menjadi ojek disela-sela waktu
luangnya, khususnya waktu sore hari.
Di satu sisi, hal-hal demikian itu akan berdampak pada profesionalisme yang
terkadang terbengkalai dengan alasan ekonomi. Kita tidak bisa menyalahkan guru
yang mengajar pelajaran di luar kualifikasi keilmuannya, banyak oknum guru yang
menjual soal ujian, hingga hal yang paling mencengangkan, ada guru yang
meninggalkan jam pelajaran kelasnya hanya untuk menemui rekan bisnis yang
dirasakannya lebih penting dan mendatangkan keuntungan bagi pribadinya.
Akan tetapi, di sisi lain, hal demikian tidak bisa kita justmen sebagai
kesalahan dan penghianatan terhadap amanat yang diembankan, karena masih sangat
manusiawi dan relevan dengan apa yang diberikan pemerintah bagi penghargaan
atas pengabdian dan profesi mereka, yang mana meski seprofesional apa pun orang
berlaku di dunia ini terhadap bidang yang digeluti dalam hidupnya, akan tetapi
pasti akan berjalan pada koridor kehidupan searah yang oleh prof. Dr. T. Jacob,
disebut sebagai konsep kehidupan linear yakni lahir, cari uang, dan mati.
Terlebih bagi guru laki-laki yang telah berkeluarga, karena seorang ayah adalah
kepala keluarga dengan tanggung jawab sebagai pemimpin. Untuk mengatur tenaga
kerja keluarga untuk produksi, tulang punggung, pertentangan politik, atau
peran serta mengemban tugas pemasyarakatan kepada keluarga (William J. Boode :
2004). Bila kita telaah berdasarkan pendekatan Exchang Theori (teori
pertukaran) dalam konsep sosiologis, hal-hal demikian yang mungkin dianggap
sebagai penyimpangan bisa ditolerir dan tergolong wajar. Karena dalam konsep
Exchang Theori itu sendiri dinyatakan bahwa dalam bertindak, berperilaku dan
berinteraksi dengan sesamannya dalam lingkungan sosialnya, manusia selalu
berorientasi pada nilai jual /nilai tukar atau apa yang akan diperoleh dari
setiap interaksi dan tingkah laku yang dilaksanakan.
Terutama sekali pada keluarga yang menganut system keluarga patrilinear yang terfokus
pada sorok yang laki-laki atau ayah. Disatu sisi ia harus mampu mempromosikan
diri sebagai guru dengan seabrek tuntutan pendidikan dan peranan yang harus
dimainkan bagi para peserta didiknya di sekolah. Namun di ruang yang lain telah
menunggu keluarga yang menuntut untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya baik secara
fisik maupun psikos atau emosional.
Mungkin profesi seorang guru harus lebih memiliki komposisi yang cukup kompleks
dibandingkan kebanyakan superman yang berprofesi di luar pendidikan dan dianggap
berhasil memanaj atau mensingkronkan fungsi profesi dan rumah tangga.
BUKU UNTUK MEMPERDALAM
§ Mulyasa, E. 2007. Menjadi Guru Profesional. Rosda Karya. Bandung.
§ Uno, Hamzah. B. 2008. Profesi Kependidikan. Bumi Aksara. Jakarta.
§ Sihotang. 2007. Manajement Sumber Daya Manusia. Pradya Paramita. Jakarta.
§ Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial 3. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
§ Jacob, T. 1995. Beginilah Kondisi Manusia. Balai Pustaka. Jakarta.
§ Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi II. Rineka Cipta.
§ Nasution, S. 1982. Teknologi Pendidikan. Jemmars. Bandung.
§ Rahmat, Jalaluddin. 2004. Meraih Kebahagiaan. Rosdakarya. Bandung.
Komentar
Posting Komentar