LEMBAGA LEGISLATIF DI INDONESIA
Lembaga Legislatif di Indonesia 1
Dalam tatanan kenegaraan
modern, praktik penyelenggaraan demokrasi dilakukan melalui sistem perwakilan.
Amat janggal apabila seluruh warga negara berkumpul di suatu tempat, kemudian
secara bersama-sama menggunakan haknya sebagai pemegang kedaulatan sejati untuk
menyelenggarakan negara secara langsung. Indonesia yang memiliki luas yang
besar ini bukanlah negara kota yang pernah melaksanakan demokrasi langsung.
Lembaga perwakilan rakyat merupakan institusi final perwujudan kedaulatan
rakyat tersebut.
Oleh
karena itu, kita perlu memahami kedudukan lembaga legislatif dalam sistem
politik Indonesia. Sejarah panjang lembaga legislatif di Indonesia berkali-kali
memakai konstitusi yang berbeda-beda menurut “selera” elite politik yang
berkuasa. Tidak jarang ditemukan lembaga legislatif yang sejajar dengan
lembaga-lembaga politik negara yang ada. Tetapi pada suatu masa pernah terjadi
lembaga legislatif berada di bawah satu lembaga politik negara.
Untuk itu
perlu juga dipelajari bagaimana kedudukan lembaga legislatif di Indonesia
dikaitkan dengan kedudukan lembaga-lembaga politik yang lain, seperti presiden
(eksekutif) dan MA (yudikatif). Hal ini menarik karena akan ditemui posisi
kedudukan parlemen yang berbeda pada masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Terpimpin berhadapan dengan lembaga-lembaga politik negara ketika itu. Bahkan
juga hubungan parlemen Indonesia dengan para menteri.
Pembahasan
lembaga legislatif di atas yang bersifat mikro, tetapi terperinci juga dapat
mengetahui beberapa lembaga legislatif yang hidup pada masa tersebut. Selain
itu mengetahui sebab-sebab pembubaran lembaga legislatif, masalah-masalah yang
terjadi di sekitar lembaga legislatif dan faktor-faktor yang mempengaruhi
peranan lembaga legislatif di Indonesia pada masa-masa tersebut.
Lembaga Legislatif di Indonesia 2
Kegiatan belajar ini menggambarkan
peranan lembaga legislatif di Indonesia pada masa Pemerintahan Soeharto dan
Pasca-Soeharto. Baik pada masa Pemerintahan Soeharto dan Pasca-Soeharto,
Indonesia kembali menganut UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Bahkan
pada masa Pemerintahan Soeharto, bertekad ingin melaksanakan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen sebagai bentuk perubahan atas penyimpangan yang dilakukan pemerintahan
sebelumnya.
Kembalinya
Indonesia menganut UUD 1945 sebagai konstitusi berarti dipakainya sistem
pemerintahan presidensil. Kabinet yang dibentuk merupakan kabinet presidensil
sehingga kabinet bertanggung jawab pada presiden dan bukan pada parlemen.
Kedudukan Presiden pun sejajar dengan parlemen (DPR) dan keduanya tidak bisa
saling menjatuhkan walaupun DPR diberi hak untuk mengawasi tindak-tanduk
presiden.
Apabila
dilihat dari konstitusi yang ada, sebenarnya DPR dapat berfungsi maksimal.
Namun, pada masa Pemerintahan Soeharto, DPR dapat dikatakan hanya sebagai
stempel bagi kekuasaan eksekutif (presiden). Bahkan presiden dapat leluasa
mengeluarkan segala macam peraturan dan ketetapan tanpa mendiskusikannya dengan
DPR. Dengan melihat perjalanan dan peranan DPR masa Pemerintah Soeharto,
akhirnya disadari bahwa konstitusi UUD 1945 juga memiliki kelemahan. Dalam UUD
1945 banyak kekuasaan yang seharusnya dimiliki oleh legislatif dan yudikatif,
namun sah juga dimiliki oleh eksekutif. Begitu juga dengan adanya pengangkatan
anggota DPR oleh presiden. Pengangkatan anggota DPR bukannya menjadikan anggota
tersebut mengawasi presiden, bahkan anggota DPR merasa berterima kasih kepada
yang mengangkatnya (presiden).
Maka itu
pasca-Soeharto, peran anggota DPR untuk tercipta keseimbangan antarlembaga
negara adalah dengan mengamandemen UUD 1945. Pembahasan tentang peran lembaga
legislatif pasca-Soeharto amat menarik. Hal ini disebabkan karena DPR sering
melampaui kewenangan dan urusan pemerintahan (eksekutif). Dengan demikian
muncul istilah legislative heavy yang merupakan kebalikan dari Pemerintahan
Soeharto, yakni executive heavy. Sebenarnya baik legislative heavy maupun
executive heavy merupakan dua hal yang sama buruknya bagi pengembangan
demokrasi karena menafikan hakikat checks and balances. Peran yang berlebihan
pada suatu lembaga politik negara dapat mengarah pada kecenderungan terjadinya
penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Lembaga Eksekutif, Birokrasi, Dan Militer Di Indonesia
Lembaga Eksekutif di Indonesia
Di dalam Demokrasi Parlementer,
kedudukan lembaga eksekutif sangat dipengaruhi oleh lembaga legislatif. Hal ini
terjadi karena lembaga eksekutif bertanggung jawab kepada lembaga legislatif.
Dengan demikian, lembaga legislatif memiliki kedudukan yang kuat dalam
mengontrol dan mengawasi fungsi dan peranan lembaga eksekutif. Dalam
pertanggungjawaban yang diberikan lembaga eksekutif maka para anggota parlemen
dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada eksekutif jika tidak melaksanakan
kebijakan dengan baik. Apabila mosi tidak percaya diterima parlemen maka
lembaga eksekutif harus menyerahkan mandat kepada Presiden.
Di masa
Demokrasi Terpimpin, peranan lembaga eksekutif jauh lebih kuat bila
dibandingkan dengan peranannya di masa sebelumnya. Peranan dominan lembaga
eksekutif tersentralisasi di tangan Presiden Soekarno. Lembaga eksekutif
mendominasi sistem politik, dalam arti mendominasi lembaga-lembaga tinggi
negara lainnya maupun melakukan pembatasan atas kehidupan politik. Partai
politik dibatasi dengan hanya memberi peluang berkembangnya partai-partai
berideologi nasakom.
Di masa
Demokrasi Pancasila atau Orde Baru, kedudukan lembaga eksekutif tetap dominan.
Dominasi kedudukan eksekutif ini pada awalnya ditujukan untuk kelancaran proses
pembangunan ekonomi. Untuk berhasilnya program pem-bangunan tersebut diperlukan
stabilitas politik. Eksekutif memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan
dengan kedudukan lembaga legislatif maupun yudikatif. Pembatasan jumlah partai
politik maupun partisipasi masyarakat ditujukan untuk menopang stabilitas
politik untuk pembangunan dan kuatnya kedudukan lembaga eksekutif di bawah
Presiden Soeharto.
kalo peranan legislatif pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi gimana gan, bisa dijlaskan gax.....?
BalasHapus